AGAMA; AKHLAK ATAU DOGMA?


Shalom aleichem, Assalamu'alaikum Warohmatullahi Wabarokatuhu, Om Swastyastu, Salam sejahtera bagi kita semua.

Langsung saja.
Dengan maraknya pemahaman masyarakat awam akan esensi agama yang justru membawa mereka terikat dengan ritual-ritual yang membebani melalui ketatnya teologi dogmatik yang kadang tak masuk akal, saya hanya ingin meluangkan waktu mengingatkan kembali akan ajaran-ajaran inti para Guru Bijak terdahulu.

Sebuah risalah mengisahkan seorang lelaki menemui Rasulullah SAW dan bertanya, “Ya Rasulullah, apakah agama itu?”. Rasulullah SAW menjawab, “Akhlak yang baik”. Kemudian ia mendatangi Nabi dari sebelah kanannya dan bertanya, “Ya Rasulullah, apakah agama itu?”. Nabi SAW menjawab, “Akhlak yang baik”. Kemudian ia menghampiri Nabi SAW dari sebelah kiri dan bertanya, “Ya Rasulullah, apakah agama itu?”. Dia bersabda, “Akhlak yang baik”. Kemudian ia mendatanginya dari sebelah kirinya dan bertanya, “Apakah agama itu?”. Rasulullah SAW menoleh kepadanya dan bersabda, “Belum jugakah engkau mengerti? Agama itu akhlak yang baik”. (al-Targhib wa al-Tarhib 3:405)

Akhlak merupakan salah satu faktor kehidupan yang sangat mendasar dan vital. Hal ini dibuktikan dengan diutusnya Rasulullah SAW ke muka Bumi ini yang tidak lain adalah untuk menyempurnakan akhlak umat manusia, sebagimana tertuang dalam salah satu hadits Rasulullah SAW yang artinya:
“Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak yang mulia”. (HR. Bukhari, Baihaqi, dan Hakim)

Selain itu, Rasulullah SAW juga bersabda:
“Mukmin yang paling sempurna imannya adalah yang paling baik akhlaknya.” (HR. Abu Dawud dan Tirmidzi)

Pada zaman yang berbeda, suatu hari seorang rabi besar di dunia Yahudi yang bernama Rabi Hillel yang hidup hampir sezaman dengan Yesus, kedatangan seseorang yang berniat mengujinya dengan berkata bahwa orang tersebut akan memeluk agama Yahudi jika Rabi Hillel mampu mengajarinya seluruh isi Taurat sambil berdiri di atas satu kaki. Rabi Hillel pun bangkit berdiri seraya mengangkat sebelah kakinya, lalu berkata: "isi Taurat adalah jangan kau lakukan kepada orang lain apa-apa yang engkau sendiri tak ingin diperlakukan semacam itu, itulah isi dari Taurat, sisanya hanyalah komentar-komentar, pergilah dan pelajari itu".

Tak dapat dipungkiri lagi, para Guru Bijak lainnya pun mengajarkan hal-hal serupa. Yesus memilih berkeliling antar kampung untuk menyembuhkan atau meringankan penderitaan masyarakat, yang mana hal itu lebih membawa manfaat daripada sekadar sembahyang di sinagog pada hari Sabat. Sang Buddha mengajarkan peningkatan kesadaran yang bermakna sangat luas. Para resi Rig Weda juga mengajarkan kebaikan-kebaikan.

Saya justru terpukau dengan jawaban Dalai Lama, serang pemimpin umat Buddha dari Tibet,  ketika ia ditanya tentang agama apa yang paling benar, beliau hanya menjawab bahwa agama yang paling benar adalah jika seseorang mampu menjadi lebih baik dengan menganut agama itu. Kemudian di lain kesempatan beliau berkata: "agama saya sangat sederhana, yaitu Kebaikan".

Jadi, menurut hemat saya, apalah artinya seluruh keyakinan akan dogma, doktrin, dan kredo. Apalah artinya jika seluruh ritual keagamaan yang dilakukan, tanpa menghasilkan perubahan perbaikan ke arah budi pekerti yang luhur? Toh sesungguhnya segala metode ritual itu didesain untuk menciptakan manusia-manusia luhur, melahirkan pribadi-pribadi tercerahkan, dan menyebarkan kebaikan dalam kehidupan ini. Sia-sialah Anda yang rajin sholat, ke gereja, ke klenteng, ke pura, namun semua itu tak mampu menjadikan Anda pribadi yang berkesadaran tinggi dan gagal dalam mewujudkan cinta kasih. Sia-sialah Anda yang terlalu menghormati kitab suci, menempatkan kitab suci di paling atas lemari, dan menciumi kitab suci ketika ia jatuh ke lantai, sementara tetangga Anda tak pernah mendapat secercah senyuman dari bibir Anda, atau bahkan sering meresahkan mereka dalam kehidupan sehari-hari, atau iri dan hasut terhadap pencapaian orang lain.

Saudaraku. Jika disuruh memilih, saya lebih berani berdosa pada Tuhan daripada berdosa pada manusia. Karena saya meyakini bahwa Tuhan maha pengampun, sedangkan manusia belum tentu. Saya tetap menyebut kata Tuhan dalam kesempatan ini, meski di lain waktu saya meragukan keberadaannya, sebab saya memiliki terminologi tersendiri tentang Yang Adialami. Jadi, dalam berkasih-sayang antar sesama pun, kita akan mengalami ekstasi dan menimbulkan rasa transendensi.

Sebagai penutup, semoga kita semakin mampu meningkatkan kesadaran dari hari ke hari. Amen.

Wassalam,
Om santhi santhi santhi Om.

"9"


Home Home Home